alexametrics IKN Bisa Turunkan Angka Kemiskinan, Dinilai Mampu Serap Banyak Tenaga Kerja

IKN Bisa Turunkan Angka Kemiskinan, Dinilai Mampu Serap Banyak Tenaga Kerja

Jumat, 26 Mei 2023 15:01

ikn-bisa-turunkan-angka-kemiskinan-dinilai-mampu-serap-banyak-tenaga-kerja

Mengentaskan kemiskinan di Kaltim masih menemui hambatan. Bahkan, ada sejumlah program yang dinilai tidak tepat sasaran.

 

BALIKPAPAN-Pengentasan kemiskinan di Indonesia terus berjalan. Sayangnya, banyak program seperti bantuan langsung tunai (BLT), pemberian sembako hingga bedah rumah, dianggap hanya menjadi solusi singkat. Perlu program jangka panjang agar mampu menurunkan angka kemiskinan.

Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Aji Sofyan Effendi menyebut, persoalan mendasar dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia termasuk Kaltim adalah data dan kewenangan. Di mana selama ini, banyak kasus bantuan kepada masyarakat miskin yang tidak tepat sasaran. Becermin dari program BLT misalnya, di mana tiba-tiba ada saja masyarakat yang mendadak miskin.

“Itu yang harus menjadi konsen pemerintah. Bagaimana data ini harusnya by name, by address hingga by contact. Jadi, benar-benar data yang tersaji itu sesuai sebelum program dijalankan,” ungkapnya.

Adanya ketimpangan data antara pemerintah pusat dengan daerah pun harusnya sudah bisa diatasi. Selama ini menurutnya, seolah ada upaya untuk mengondisikan tingkat kemiskinan di angka tertentu dengan tujuan bermuara pada penyediaan anggaran. “Harusnya dari tingkat RT sampai provinsi sudah tervalidasi. Tinggal pusat ambil data itu. Jangan pakai data sendiri-sendiri,” ucapnya.

Menurutnya, momen pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara bisa membantu menurunkan angka kemiskinan di Kaltim. Bekerja sama dengan kementerian hingga Dinas Ketenagakerjaan. Menciptakan lapangan kerja yang tidak memerlukan skill tinggi, namun padat karya. Sementara, untuk mereka yang memang sudah tidak produktif lagi tetap menjadi tanggung jawab kementerian atau Dinas Sosial.

“Sebagai jaring sosial. Karena bagaimanapun masyarakat miskin wajib diurus negara. Dan dengan membuka lapangan kerja dan peningkatan pendidikan pula, mampu menjadi solusi jangka panjang dalam mengurangi angka kemiskinan. Kemiskinan tidak akan pernah bisa dihilangkan, namun mampu dikurangi dengan program yang tepat,” ujarnya.

Melalui APBD 2023, Pemprov Kaltim telah mengalokasikan dana bantuan kepada masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bantuan itu disalurkan dalam berbagai bentuk melalui program kegiatan di setiap perangkat daerah (PD).

Salah satunya, adalah kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) program keluarga harapan (PKH) dengan alokasi anggaran sebesar Rp 132.209.500 yang dilakukan oleh Dinas Sosial (Dissos) Kaltim. Kegiatan itu bertujuan memberikan ilmu dan pengetahuan dalam melaksanakan penanganan kemiskinan di lapangan. Sehingga, pelaksanaan PKH dapat tepat sasaran, tepat guna, dan tepat manfaat.

Pemprov Kaltim juga menambah jumlah penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan sebanyak 109 ribu peserta di 10 kabupaten/kota tahun ini. Dana PBI BPJS Kesehatan disalurkan melalui Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim.

Program penanganan kemiskinan juga disalurkan dalam berbagai bentuk lain. Di antaranya, seperti pemberian beasiswa melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Diskdikbud), rehabilitasi rumah tidak layak huni oleh Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat (DPUPR-Pera) Kaltim, bantuan usaha ekonomi dari Disperindagkop, dan bantuan latihan kerja dari Dinas Tenaga Kerja.

Pemerintah pusat pun sebelumnya mengumumkan, upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen membuahkan hasil. Dari tiga periode pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS) tren persentase angka kemiskinan ekstrem terus menurun. Target pemerintah nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024.

Penduduk miskin ekstrem adalah bagian dari penduduk miskin. Di antara kriteria penduduk miskin ekstrem menurut Bank Dunia adalah, memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya Rp 10.739 per hari atau Rp 322.170 per bulan. Hitungan tersebut adalah per jiwa. Jika dalam satu keluarga ada empat jiwa, maka mampu memenuhi kebutuhan hidup di bawah Rp 1.288.680 per bulan.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin langsung rapat evaluasi percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem (PPKE) di Istana Wapres, Jakarta Pusat, Rabu (24/5). Dalam paparannya, Ma'ruf menyampaikan tren penurunan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia berdasarkan perhitungan BPS.

Pada Maret 2021 lalu, angka kemiskinan ekstrem tercatat 2,14 persen. Lalu, turun menjadi 2,04 persen pada Maret 2022. Kemudian, turun lagi menjadi 1,74 persen pada September 2022.

Bahkan, perhitungan versi Bank Dunia angka kemiskinan ekstrem Indonesia tinggal 1,5 persen pada Maret 2022. “(Perbedaan) ini yang nanti kita cross (dicek) ya,” katanya dalam pengantar rapat. Ma'ruf menegaskan yang dipakai acuan kebijakan pemerintah adalah hasil perhitungan BPS.

Merujuk angka yang dikeluarkan BPS tersebut, angka kemiskinan ekstrem turun dari 5,80 juta jiwa pada Maret 2021 menjadi 5,59 juta jiwa pada Maret 2022. Penurunan tersebut didukung oleh penajaman sasaran melalui pemanfaatan data PPKE. Kemudian juga melalui konvergensi program serta perbaikan kualitas implementasi program.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy memiliki keyakinan angka kemiskinan bisa terus berkurang. “Yakinlah, orang sudah kita tangani habis-habisan kayak gini, masa enggak turun. Kebangetan,” tuturnya.

Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu juga menyampaikan Bank Dunia mengusulkan adanya perubahan kriteria kemiskinan ekstrem. Dari yang berlaku saat ini USD 1,9 per kapita, menjadi USD 2,30 per kapita. Menurutnya, bila kriteria tersebut dipenuhi, maka angka kemiskinan ekstrem di Indonesia bakal naik.

Muhadjir juga menyampaikan soal adanya pergeseran anggaran. Maksudnya adalah Kementerian Keuangan tidak bisa langsung mengklaim anggaran kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem sudah besar. Ternyata juga menghitung subsidi bahan bakar minyak (BBM). Padahal, tidak bisa dipastikan subsidi BBM apakah semuanya untuk orang miskin.

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu mengatakan arahan wakil presiden supaya anggaran penghapusan kemiskinan ekstrem harus detail atau spesifik. Anggaran subsidi BBM tidak bisa diklaim sebagai bagian dari program penanganan kemiskinan ekstrem.

Muhadjir menyampaikan untuk sejumlah program yang spesifik, ternyata ada yang belum menjangkau masyarakat miskin ekstrem. Dia mencontohkan adalah program penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan. Saat ini, pemerintah segera mendata masyarakat miskin ekstrem yang belum masuk skema bantuan BPJS Kesehatan untuk didaftarkan. Program pendaftaran ini langsung diambil alih oleh Kemenko PMK. (rom/k15)

 

M RIDHUAN

mad.dhuan@gmail.com

 

Persentase Kemiskinan Ekstrem di Indonesia

(Tertinggi di tiap Provinsi)

 

1. Bener Meriah (Aceh): 6,96 persen

2. Nias Utara (Sumut): 8,82 persen

3. Sijunjung (Sumbar): 2,21 persen

4. Kepulauan Meranti (Riau): 5,53 persen

5. Batang Hari (Jambi): 1,76 persen

6. Kaur (Bengkulu): 7,87 persen

7. Lampung Utara (Lampung): 4,79 persen

8. Belitung (Babel): 2,06 persen

9. Lingga (Kepri) : 4,48 persen

10. Lahat (Sumsel): 7,35 persen

11. Jakarta Utara (DKI Jakarta): 1,94 persen

12. Kabupaten Cirebon (Jabar): 3,7 persen

13. Kebumen (Jateng): 5,51 persen

14. Gunung Kidul (Jogja): 4,30 persen

15. Sumenep (Jatim): 6,41 persen

16. Lebak (Banten): 2,17 persen

17. Karangasem (Bali): 1,8 persen

18. Lombok Utara (NTB): 11,97 persen

19. Sumba Tengah (NTT): 19,11 persen

20. Ketapang (Kalbar): 3,57 persen

21. Seruyan (Kalteng): 1,98 persen

22. Banjarmasin (Kalsel): 1,23 persen

23. Kutai Timur (Kaltim): 6,45 persen

24. Bulungan (Kaltara): 1,59 persen

25. Parigi Moutong (Sulteng): 6,39 persen

26. Minahasa Tenggara (Sulut): 3,01 persen

27. Jeneponto (Sulsel): 4,51 persen

28. Konawe (Sultra): 6,08 persen

29. Kabupaten Gorontalo (Gorontalo): 6,92 persen

30. Polewali Mandar (Sulbar): 6,27 persen

31. Seram Bagian Barat (Maluku): 9,54 persen

32. Halmahera Timur (Malut): 3,82 persen

33. Teluk Bintuni (Papua Barat) : 20,21 persen

34. Puncak Jaya (Papua): 28,37 persen

 

Sumber: Badan Pusat Statistik 2022