alexametrics Ada Yang Bikin Jurnal atau Antologi, Yang Lain Pasti Tak Mau Kalah

Ada Yang Bikin Jurnal atau Antologi, Yang Lain Pasti Tak Mau Kalah

Sabtu, 16 September 2023 10:17

ada-yang-bikin-jurnal-atau-antologi-yang-lain-pasti-tak-mau-kalah

Wapres saat mengunjungi Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah

Saat ini ada sekitar 15 komunitas santri di Annuqayah yang saling berkompetisi sehat melahirkan beragam karya tulis, juga media-media internal yang menulis berbagai kegiatan ponpes. Bermula dari sanggar tempat pembacaan puisi dihelat rutin dua kali sepekan.

 

M. Hilmi Setiawan, Sumenep

 

BEBERAPA meter sebelum masjid Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah, ratusan santri sudah berdiri memadati bahu jalan. Masing-masing membawa bendera Merah Putih plastik untuk menyambut tamu di hari itu: Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Moh. Tsabit Husain ada di antara barisan santri pada Rabu (9/8) sepekan sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia itu. Tapi, Tsabit yang menuntut ilmu di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) tak membawa bendera, melainkan buku kecil dan pena. Tanda pengenal pers Annuqayah terkalung di leher.

’’Liputannya agenda-agenda pesantren. Seperti saat ini, ada kunjungan Kiai Wapres,’’ kata reporter media internal Annuqayah tersebut kepada Jawa Pos saat ditemui di samping masjid pesantren yang terletak di Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, tersebut.

Dia ditemani Ikrom Firdaus yang juga sama-sama mengenakan tanda pengenal reporter. Bedanya, Firdaus berstatus reporter Muara yang dikelola santri serta mahasantri di Annuqayah. Muara masih terkait dengan media lain di Annuqayah, Lubangsa.

Dari dua sekawan itu saja sudah tergambar maraknya kreasi tulis-menulis di kalangan para santri di pesantren yang berada di kabupaten di ujung timur Madura tersebut. Dari rahim Annuqayah telah lahir banyak sekali penulis.

KH M. Faizi, salah seorang pengasuh pondok, misalnya, dikenal luas sebagai penyair sekaligus esais. Taufiqurrahman, contoh lainnya, penulis muda yang banyak mengulas soal filsafat dan sains.

Ada pula Muhammad Al-Fayyadl, Bernando J. Sujibto, Sofyan RH. Zaid, Muhammad Ali Fakih, Fathorrahman Hasbul, Raedu Basha, dan Achmad Fawaid. Juga KH Hodri Ariev, wakil ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU sekarang.

’’Kami di sini punya komunitas. Setiap komunitas memiliki media dengan karya atau karakter sendiri-sendiri,’’ tutur Tsabit.

Komunitas yang dia maksud biasanya terkait dengan asal daerah para santri. Saat ini ada lebih dari 15 komunitas di Annuqayah. Masing-masing berlomba adu kreasi melahirkan karya literasi.

Di tiap komunitas, kata Tsabit, setiap santri diberi kebebasan berkarya sesuai bakat dan minat. Ada yang mengasah diri menulis cerpen. Ada juga yang rutin menggoreskan puisi.

Kegiatan di tiap-tiap komunitas atau organisasi daerah itu sangat beragam. Biasanya setelah ada karya yang diproduksi, dibedah bareng-bareng.

Di internal pondok, karya tulis para santri umumnya dicetak, kemudian dibagi-bagikan. Adapun media yang memuat beragam agenda ponpes biasanya terbit sepekan sekali.

Untuk memperdalam kemampuan para santri, pesantren juga sering mengadakan pelatihan. Mengundang alumni yang sudah menjadi penulis profesional atau alumni yang menekuni profesi wartawan.

’’Saya lebih suka menulis cerpen. Teman-teman ada yang hobi membuat esai atau puisi,’’ tutur Tsabit.

Untuk kepentingan liputan, sudah beragam isu yang dia angkat. Di antaranya, upaya pondok menangani masalah sampah.

Annuqayah memang pesantren yang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan. Di antaranya, punya aturan pembatasan penggunaan plastik.

Jadi, ketika berbelanja kebutuhan, santri tidak boleh menggunakan plastik. Sebagai ganti harus menggunakan wadah atau tempat yang tidak sekali pakai.

Sampah yang dihasilkan pesantren juga diolah sesuai dengan kegunaan. Ada, misalnya, yang diolah menjadi paving block.

Sementara itu, Ikrom lebih fokus pada penulisan berita. Tantangan yang sering dihadapi mahasantri semester VIII Instika itu justru pada proses wawancara. Banyak santri yang dia interview kerap malu-malu.

Pengalaman liputan yang paling berkesan adalah mewawancarai sejumlah kiai di Sumenep untuk keperluan pembuatan profil. Sebagai santri, dia kerap gugup ketika harus berhadapan dengan para tokoh tersebut.

’’Saya biasanya ambil napas dalam-dalam dulu. Baru setelah itu hilang groginya,’’ katanya.

Annuqayah didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad Syarqawi. Mendidik sekitar 8 ribu santri, ponpes tersebut memiliki jumlah pengasuh yang banyak. Ini berbeda dengan pesantren pada umumnya yang pengasuhnya hanya satu orang. Lainnya merupakan ustad atau guru.

KH M. Faizi merupakan salah seorang pengasuh yang produktif menulis beragam karya. Tidak kurang 30 buku telah dihasilkan kiai yang doyan naik bus tersebut.

Menurut Faizi, kegiatan menulis para santri dimulai sekitar periode 1980-an. ’’Dimulai dari sanggar,’’ kata kiai yang piawai bermain gitar tersebut.

Dari sanggar itu kemudian lahir forum yang rutin menggelar pembacaan puisi. Berikutnya lahirlah beragam media buatan para santri yang awalnya berwujud stensilan.

Puncak kegiatan tulis-menulis para santri, lanjut Faizi, terjadi pada kurun 1990 hingga 1997. Pada periode tersebut lahir jurnal Kapas. ’’Total saat itu ada 20 media yang dibuat para santri. Pesantrennya malah belum punya media,’’ katanya.

Setiap malam Selasa dan malam Jumat juga rutin digelar kegiatan pembacaan puisi. Secara alamiah, tambah Faizi, terbangun iklim kompetisi sehat antara satu organisasi daerah dan organisasi daerah lain.

Ketika ada yang memproduksi majalah dinding, yang lain pun tidak mau ketinggalan. Juga ketika ada yang menerbitkan jurnal cerpen atau antologi puisi.

Saat ini forum-forum literasi yang bersifat fisik sudah agak berkurang seiring derasnya penetrasi media sosial. ’’Tetapi, kegiatan menulisnya masih jalan terus. Tak ada kurikulum khusus. Semua berjalan alamiah sesuai dengan bakat dan minat para santri,’’ katanya. (*/c19/ttg)