Faktor Internal-Eksternal Picu Maraknya Kekerasan kepada dan oleh Anak
Self-harm Massal karena Keluarga, Tontonan, dan Asmara
Jumat, 17 Maret 2023 12:41

ilustrasi

Anak dinilai kerap merasa sendiri meski hidup dengan banyak orang. Kadang mereka harus menghadapi semua masalahnya sendirian.
=====================
Kecurigaan itu dipicu luka yang sama yang ditemukan di pergelangan tangan sejumlah siswi SMP 1 Bengkulu Utara, Bengkulu. Sekolah pun memutuskan untuk melakukan razia. Dan, hasilnya sangat mengejutkan. Ditemukan 52 siswi yang memiliki luka gores sama.
”Dari keterangan para siswi diketahui, mereka melakukan itu di luar jam sekolah, bukan di lingkungan sekolah. Namun, tetap kami melakukan pencegahan agar tak meluas,” kata Kepala SMP 1 Bengkulu Utara Sri Utami Dwi Wahyuni.
Sebagian besar adalah siswi kelas VII dan beberapa siswi kelas VIII. Mereka, kata Sri, melakukannya dengan benda tajam. Ada yang menggunakan pecahan kaca, silet, atau jarum pentul. Hasil pemeriksaan tim medis, luka mereka memang tak parah. Namun, tentu saja perilaku self-harm ini sangat mengkhawatirkan.
Mengutip situs resmi Siloam Hospitals, self-harm merupakan tindakan menyakiti diri sendiri untuk menghilangkan rasa frustrasi, stres, dan berbagai emosi. Setiap orang memiliki cara self-harm yang berbeda-beda seperti menarik rambut, mencubit, menggigit, menggaruk, memukul, menelan zat berbahaya, dan menyayat anggota tubuh (cutting).
Kabar mengejutkan dari Bengkulu ini muncul saat beragam tindak kekerasan/kejahatan yang melibatkan anak marak di mana-mana. Di Jakarta, AG yang baru berusia 15 tahun menjadi anak yang berkonflik dengan hukum karena terlibat dalam kasus penganiayaan kepada David Ozora yang juga masih di bawah umur meski pelaku utamanya sudah dewasa.
Di Kota Bogor, empat pelaku dalam kasus tewasnya Arya Saputra (16) juga masih di bawah umur. Di Kabupaten Purwakarta, bocah 15 tahun tertangkap polisi saat menjadi pengedar obat-obatan terlarang.
Perundungan teman-teman sekolah juga mendorong MR (11) mengakhiri hidup dengan gantung diri di Banyuwangi. Seorang bocah SD di Kabupaten Blitar juga membacok temannya yang sedang main bola.
Lalu, apa yang mendorong self-harm massal di Bengkulu? Kasatreskrim Iptu Ardian Yunnan Saputra yang mewakili Kapolres Bengkulu Utara AKBP Andy P Wardhana mengungkapkan, para siswi tersebut terpengaruh tontonan di media sosial. Selain itu, memang ada faktor internal keluarga. Ada yang berasal dari keluarga broken home. Ada pula yang putus dari pacar.
”Mereka ini juga dalam rangka mencari jati diri. Namun, kami pastikan tidak mengarah ke hal negatif lain seperti narkoba,” ujarnya.
Tim Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPPAPPKB) Provinsi Bengkulu sudah melakukan tes kepribadian kepada 52 siswi tersebut dengan meminta anak-anak itu menggambar.
”Dari gambar tersebut, kami bisa melihat kepribadian lampau anak. Karena tim yang turun merupakan psikolog,” ungkap Kepala UPTD PPA Provinsi Bengkulu Ainul Mardiati.
Hasilnya, mayoritas anak memang diduga melukai dirinya akibat permasalahan keluarga. Ditambah lagi tontonan yang mereka belum mengetahui kebenarannya. ”Sehingga mereka ini mencoba. Dalam pemikiran mereka, masalah yang mereka hadapi akan tuntas dengan melukai diri tersebut,” ujar Ainul.
Selain masalah keluarga, beberapa siswi diperkirakan melakukan self-harm karena masalah asmara. Salah satunya, konflik dengan sang pacar.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar menyebut, ada dua hal yang memengaruhi maraknya kekerasan kepada dan oleh anak; internal dan eksternal.
Internal ini berhubungan dengan biofisik atau faktor bawaan dan/atau keterbatasan fisik/mental individu anak dalam merespons perubahan fisik dan hormonal yang mengikuti pubertas. Hal itu membuat perubahan pada tampilan fisik dan fungsi tubuh sehingga para remaja akan menemukan suatu hal yang baru dalam hidup mereka dan menjalani proses adaptasi terhadap perubahan tersebut.
”Hal ini berdampak pada munculnya berbagai kecemasan tertentu. Misalnya, kecemasan terhadap penerimaan lingkungan atas kondisi dirinya, ketakutan untuk menjalin relasi, serta kebutuhan untuk dihargai dan diapresiasi,” jelasnya.
Kemudian, psikologis dari individu anak yang perkembangannya dipengaruhi aspek eksternal. Misalnya, pola pengasuhan dalam keluarga, relasi dengan keluarga inti maupun keluarga besar, kondisi pertemanan, lingkungan sosial, serta lingkungan pendidikan.
Sementara itu, faktor eksternal bisa mencakup ekonomi yang membuat anak berupaya untuk bisa bertahan hidup. Kemudian, faktor sosial yang sangat erat dipengaruhi dari lingkungan tempat tinggal, adat dan budaya yang berlaku, media sosial, pertemanan, serta lingkungan sekolah yang dapat memicu tindak kekerasan.
”Misalnya, beberapa budaya permisif terhadap kekerasan sebagai bagian dari menjaga harga diri laki-laki dan keluarga. Perilaku kekerasan pun dianggap normal,” ujarnya.
Keprihatinan turut disampaikan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra atas maraknya peristiwa anak-anak yang menjadi pelaku penggunaan senjata tajam yang mematikan. Menurut dia, anak kerap merasa sendiri meski hidup dengan banyak orang. Sebab, mereka harus menghadapi semua masalahnya sendirian. Mulai perundungan dalam pergaulan sehari hari, berlanjut di sekolah, hingga berlanjut di media sosial. Kondisi itu diperburuk dengan persaingan status, problematika eksistensi, saling bersaing dengan apa yang disenangi, hingga berbagai prasangka di media sosial dengan status menyindir. (qia/mia/c14/ttg/jpg/dwi/k8)

LATEST NEWS

Terry Shahab Siap Kembali Muncul Bawakan Lagu Sedih
29 Maret 2023

Burger Pemecahan Rekor Harry Kane
29 Maret 2023
