Di Timbulsloko, ”Maladewa” ala Demak, Mereka Bertahan karena Tak Punya Pilihan
Tak Ada Lagi Anak-Anak yang Main Bola di Depan Rumah
Jumat, 19 Mei 2023 17:36


Di Timbulsloko yang dilumat abrasi, halaman serta tanaman hilang, rumah-rumah terus ditinggikan, dan jembatan yang cuma muat satu orang menyulitkan memakamkan yang meninggal.
FERLYNDA PUTRI, Demak
DI depan rumah Rusika di Demak, Jawa Tengah, air laut menggenang sepanjang tahun. Abrasi mengisolasi 170 kepala keluarga di sana.
Timbulsloko, nama desa tempat Rusika tinggal, memang berada di tepi laut. Sekitar 20 kilometer dari kantor bupati Demak dan 24 kilometer dari kantor gubernur Jawa Tengah. Serta tak jauh dari jalur pantai utara (pantura) Jawa yang sibuk menggerakkan ekonomi.
Namun, akses ke Timbulsloko betapa tak mudah. Kalau mau ke sana, harus datang sebelum pukul 15.00 kalau tak mau menerjang air pasang yang biasanya setinggi lutut orang dewasa.
Kalau pakai mobil, diparkir di luar desa. Sepeda motor tak bisa masuk ke setiap rumah. Rumah salah seorang warga yang lebih jauh dari laut dan biasanya tak terendam air pun dijadikan tempat parkir. Tarifnya mencapai Rp 2.000.
”Dua rumah yang besar itu ditinggal sama pemiliknya,” kata Rusika sambil menunjuk ke dua rumah yang tampak kosong.
Kenapa tak diberikan saja kepada tetangga? ”Kalau diberikan, tidak ada yang mau. Soalnya, kami juga punya rumah yang setiap tahun pasti butuh perbaikan,” ujar perempuan 42 tahun tersebut kepada Jawa Pos yang menemuinya sekitar sebulan lalu.
Maladewa, begitu orang-orang menyebut Timbulsloko, mengacu pada negara kepulauan di Samudra Hindia yang juga terancam abrasi. Bentuk rumah-rumah yang masih berpenghuni di desa tersebut tak lazim. Sebab, pintunya lebih pendek daripada rumah pada umumnya. Maklum saja, lantai rumah mereka sudah ditinggikan beberapa kali.
Abrasi menjadi problem besar di sepanjang pantura Jawa. Di Kabupaten Jepara, juga di pantura Jawa Tengah, misalnya, bibir Pantai Beringin bergeser 50 meter ke daratan.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menempuh sejumlah langkah mitigasi. Salah satunya, memperluas hutan mangrove di sepanjang pesisir pantura. Selain itu, sisa abu pembakaran batu bara PLTU milik PLN yang dijadikan tetrapod dimanfaatkan sebagai pemecah gelombang laut.
Rumah Rusika sudah dua kali ditinggikan. Buntutnya, Jawa Pos harus menundukkan kepala saat harus melewati pintu rumahnya.
Rumahnya berlantai kayu. Tentu di bawah lantai itu adalah air asin. Kamar mandi dan dua kamar tidur juga memiliki pintu yang pendek. ”Untuk air mandi, kami menampung air hujan. Dulu ada sumur bor dekat sini, tapi mati,” ungkapnya.
Dia menceritakan setiap tahun harus membetulkan jalan kayu yang menghubungkan ke rumahnya. Belum lagi harus membayar iuran untuk membetulkan jalan kayu milik kampung. Setidaknya ada pengeluaran pasti Rp 1,5 juta untuk membetulkan jalan. Belum termasuk biaya perawatan rumah. Semua berlomba dengan abrasi yang terus meninggi. ”Menjelang Lebaran itu tidak beli baju baru, tapi beli jembatan,” kelakarnya.
Istri Suwanto itu menyebut, yang bertahan di Timbulsloko adalah mereka yang tak punya pilihan. Misalnya, Rusika yang hanya mengandalkan gaji suaminya yang merupakan buruh pabrik di Semarang sebesar Rp 2 juta.
Abrasi mulai merangsek Timbulsloko dengan ganas sejak 2008. Namun, waktu itu air masih datang dan pergi. Tak menetap seperti sekarang.
”Dulu di sini ada pohon jambu dan lainnya, halaman luas. Dulu banyak anak kecil yang main bola di depan rumah sampai-sampai saya sering memarahi karena bolanya kena kaca,” ujarnya.
Pada Senin (17/4) sebulan lalu saat Jawa Pos berkunjung ke sana, tak ada lagi anak-anak kecil yang bermain. Sepi.
Jalan kecil dari kayu dan bambu menjadi satu-satunya akses antar-rumah. Saat ada warga yang sakit parah atau mau melahirkan, akses tersebut menyulitkan. Di kanan kirinya air. Sementara, jalan kayu yang bisa dilalui hanya selebar 1,5 meter.
”Waktu mamak saya meninggal, pas mau dimakamkan, robnya datang,” kenang ibu dua anak tersebut.
Ibunya meninggal pada pukul 12 siang. Ketika siang, mayoritas yang ada di desa hanya perempuan, anak, dan lansia. Terpaksa menunggu jam kerja para bapak selesai.
Kesulitan lainnya adalah ketika mengangkat keranda. Sebab, jembatannya hanya muat untuk satu orang.
Anita, warga lain yang ditemui Jawa Pos, mengungkapkan bahwa rumahnya juga sudah ditinggikan. Bantuan dari pemerintah pernah ada. Misalnya, untuk membuat jembatan. Meski, bantuan itu diberikan bertahap.
Selain itu, ada program bantuan dari pemerintah setempat jika warga mau direlokasi. Namun, warga enggan karena harus mencicil tanah kavlingnya meski bangunannya cuma-cuma.
”Rumahnya juga kecil. Kalau anaknya lebih dari dua, repot,” ungkap Anita, ibu satu anak.
Dengan berbagai alasan itu, Anita memilih menetap di desa kelahirannya yang perlahan dilumat abrasi tersebut. Anaknya, Vanessa, yang berusia 5 tahun terpaksa tak punya banyak tempat bermain. Akhirnya, ponsel menjadi satu-satunya wahana mencari hiburan bagi sang buah hati. ”Saya cuma pesan untuk hati-hati karena sudah banyak handphone yang tercebur,” tuturnya.
Untuk urusan air, selain bergantung pada air hujan dan sumur bor, warga Timbulsloko memakai air mineral untuk minum. Air hujan hanya digunakan untuk mandi. Air dari sumur biasanya dipakai untuk mencuci karena payau.
Harapan Rusika, Anita, dan warga Timbulsloko lain tak muluk-muluk: perbaikan jalan. Jika memang terpaksa direlokasi, mereka minta diberi tempat yang layak dan tak menyulitkan perekonomian.
”Bangun tol bisa cepet, tapi bangun jalan kayu di sini setahun mung oleh separo (cuma selesai separo),” keluh Rusika. (*/c14/ttg)
LATEST NEWS

Ibra Melirik Agen, Hazard Bisa Gantung Sepatu
05 Juni 2023

Max Juara, Wehrlein Kudeta
05 Juni 2023

Membawa Atmosfer Istanbul ke Stadio Giuseppe Meazza
05 Juni 2023

Brozo dan Gundo Gemilang di Laga Pemungkas Domestik
05 Juni 2023
