alexametrics “Pencopotan Anwar Usman Sebagai Ketua Mahkamah Konstistusi, Apakah Solusi?”

“Pencopotan Anwar Usman Sebagai Ketua Mahkamah Konstistusi, Apakah Solusi?”

Kamis, 16 November 2023 23:24

pencopotan-anwar-usman-sebagai-ketua-mahkamah-konstistusi-apakah-solusi

-

Oleh : Abdul Aziz

Asisten Peneliti Pusdiksi FH Unmul

 

Pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan terhadap pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), setidaknya terdapat 21 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Putusan yang kemudian menjadi polemik itu adalah putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang dalam amar putusan menyebutkan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Banyak pihak menganggap bahwa putusan tersebut sarat akan konflik kepentingan yang dilakukan oleh ketua MK Anwar Usman.

Merespons putusan tersebut, MKMK menerima kurang lebih 21 laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim. Tak tanggung-tanggung, sembilan hakim konstitusi menjadi sasaran laporan tersebut, terutama ketua MK Anwar Usman. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, akhirnya pada selasa 7 November 2023 MKMK memberikan putusan terhadap seluruh laporan dugaan pelanggaran etik tersebut. Alhasil seluruh hakim konstitsui terkena sanksi teguran lisan sebab membiarkan terjadinya hakim yang memililki konflik kepentingan ikut memutus perkara tersebut terlebih terbukti adanya kebocoran informasi dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim.

Terutama kepada ketua MK Anwar Usman diputus dalam amar putusan “Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor”. Dibalik putusan pemberhentian dari jabatan tersebut, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim MKMK Bintan R. Saragih. Dalam pandangannya, ketua MK Anwar Usman telah terbukti melakukan pelanggaran berat sehingga sanksi yang sesuai hanyalah pemberhentian tidak hormat. Hal ini didasarkan pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Bertolak dari putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK, maka kita akan coba telisik apakah putusan tersebut sudah layak baginya? Atau justru pemberhentian dengan tidak hormat adalah sanksi yang paling sesuai untuknya? Sebelum menjawab hal tersebut perlu diketahui mengapa hanya sanksi pemberhentian dari jabatan ketua MK yang diberikan kepada Anwar Usman.

Dalam pengucapan putusan, hakim MKMK Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan bahwa jika diberikan dengan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat maka putusan tersebut dapat diajukan ke Majelis Banding yang dibentuk oleh Ketua MK. Hal ini tentunya akan memberikan ketidakpastian dan potensi untuk putusan MKMK berubah sangat besar mengingat pembentuk majelis banding adalah Anwar Usman itu sendiri. Alasan itulah yang kemudian menjadi pertimbangan untuk tidak memberhentikan dengan tidak hormat Anwar Usman. Pun ditambah dalam amar putusan bahwa Anwar Usman dilarang untuk turut serta mengadili perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota yang berpotensi timbul konflik kepentingan.

Pertama yang menjadi penilaian penulis adalah bahwa bisa saja Anwar Usman diberhentikan dari jabatan ketua MK sekaligus pemberhentian tidak dengan hormat karena memang terbukti telah melakukan pelanggaran berat. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan majelis banding yang dibentuk oleh ketua MK yang dalam hal ini adalah Anwar Usman sendiri? Menjawab pertanyaan tersebut, menurut penulis putusan MKMK tersebut bisa saja dilaksanakan telebih dahulu sepanjang untuk pemberhentian Anwar Usman dari jabatan ketua MK. Lalu untuk majelis banding terkait pemberhentian tidak dengan hormat dibentuk oleh ketua MK yang baru.

Hemat penulis hal ini lebih berdasar, karena memang terbuktinya Anwar Usman melakukan pelanggaran berat. Kedua, tidak diperbolehkannya Anwar Usman untuk turut mengadili PHPU menurut penulis bukanlah sesuatu yang memuaskan karena memang sudah seharusnya seluruh hakim MK tidak turut untuk mengadili terhadap perkara yang berpotensi besar terdapat konflik kepentingan terhadap dirinya. Sehingga menurut penulis, hanya dengan penalaran yang wajar dan tanpa harus diputuskan dalam amar putusan sudah semestinya Anwar Usman atau siapapun hakim MK tidak diperbolehkan untuk mengadili perkara yang sarat konflik kepentingan untuk pribadi.

Sebagai penutup, dengan putusan MKMK tersebut tentu itu akan menjadi semacam cambukan keras bagi MK dan hal tersebut secara vis a vis akan mendegradasi nilai MK di mata publik. Maka tak salah jika kemudian banyak tagar yang menyebutkan bahwa MK bukan mahkamah konstitus tapi mahkamah kekuasaan atau bahkan lebih parah mahkamah keluarga. (*)