
Oleh: Rachmad Indrawan Sidiq
Menilik Putusan NOMOR: 2/MKMK/L/11/2023 Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pada 07 November 2023 lalu, terkait laporan Pelanggaran Kode Etik Hakim Mahkmah Konstitusi terhadap Putusan No. 90 mengenai syarat usia capres-cawapres. Dalam putusan tersebut dikawal oleh tiga anggota MKMK yaitu, Jimly Asshiddiqie sekaligus menjadi ketua MKMK, Wahiduddin Adams, dan Bintan R Saragih. Dalam putusan tersebut, yang menjadi sorotan adalah ketika Jimly Asshiddiqie melalui amar putusannya menyebutkan bahwasannya Anwar Usman sebagai hakim terlapor melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama dan menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus dilarang untuk terlibat dalam pemeriksaan dan pengadilan sengketa yang terkait dengan Pemilu, termasuk Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif yang memiliki potensi terbenturnya kepentingan.
Beberapa bukti konkret telah dikumpulkan yang membuktikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan delapan hakim lainnya sebagai hakim terlapor terbukti melanggar kode etik. Ini merupakan sejarah baru bagi Indonesia atau bahkan seluruh dunia, mendapati seluruh hakim MK dilaporkan. Pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor melanggar ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 jo. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Dalam putusan MKMK NOMOR: 2/MKMK/L/11/2023, Hakim Terlapor terbukti melanggar Prinsip Independensi, Ketidakberpihakan, Integritas, Kepantasan dan Kesopanan, Kecakapan dan Keseksamaan, Kearifan dan Kebijaksanaan
Pelanggaran yang dilakukan oleh Anwar Usman sebagai pemangku jabatan paling tinggi di lembaga yang sangat terhormat yang menentukan arah konstitusi dan demokrasi Indonesia merupakan sebuah pelanggaran kode etik yang berat dan harus dibebankan kepada MKMK untuk memeriksa dan mengadili. Dibentuknya MKMK merupakan sebuah langkah yang tepat untuk menjawab keresahan masyarakat untuk mengembalikan marwah Mahkamah Konstitusi ke tempat yang seharusnya. Majelis Kehormatan merupakan perangkat yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution dan the guardian of democracy akan menimbulkan pertanyaan besar terkait marwah, kredibilitas, moralitas dan independensinya akibat dari serangkaian tindakan dari Hakim Terlapor Anwar Usman yang telah melanggar Kode Etik yang dinilai sebagai pelanggaran berat.
Dalam Putusan NOMOR: 2/MKMK/L/11/2023 terdapat banyak permohonan terutama pemohon yang meminta dicabutnya jabatan Anwar Usman sebagai Ketua MK sekaligus pemecatan sebagai Hakim Konstitusi. Jika kita menilik lebih dalam terhadap putusan Majelis Kehormatan No. 02, sangat jelas terjadi pelanggaran terkait konflik kepentingan yang mengatakan bahwasannya seorang hakim harus mengundurkan diri sebagai majelis jika ada kepentingan secara langsung maupun tidak langsung bahkan jika ada hubungan keluarga. Hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Anwar Usman ketika sedang menguji Pasal 169 huruf q yang malah bertentangan dengan Judicial Disqualification. Dengan demikian, Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konsitusi telah gagal memimpin Mahkamah Konstitusi dari skandal yang melanda sehingga layak dijatuhkan sanksi pelanggaran berat.
Walaupun putusan MKMK tersebut tidak berjalan seratus persen sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat yaitu pemecatan sebagai Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi sekaligus sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi, putusan tersebut mampu menjawab sebagian besar keinginan masyarakat. Setidaknya, Majelis Kehormatan tidak membuat sebuah putusan yang menguntungkan pihak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik Mahkamah Konstitusi. Namun, alangkah lebih baiknya Hakim Terlapor dalam hal ini adalah Anwar Usman, dipecat dari jabatannya dari Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus Hakim Konstitusi. Hal tersebut didasarkan pada terbuktinya Hakim Terlapor melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku yang dinilai sebagai pelanggaran berat terkait dengan konflik kepentingan. Dengan dipecatnya Hakim Terlapor yang melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, akan mengembalikan marwah serta kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Menjadi sebuah masalah baru, jika nantinya putusan-putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi di kemudian hari diabaikan bahkan tidak dipercaya oleh masyarakat karena hakim yang terbukti melakukan pelanggaran berat masih menjabat sebagai Hakim Konstitusi.
Putusan No. 90 merupakan sebuah putusan yang inkrah dan tidak dapat dibatalkan sekalipun oleh Majelis Kehormatan, karena MKMK tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan tersebut. MKMK dibentuk hanya untuk memeriksa dan mengadili terkait Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Namun, MKMK dalam putusannya secara tersurat seharusnya memerintahkan kepada Hakim Konstitusi untuk melakukan sidang ulang terkait Putusan MK No. 90 untuk kembali meluruskan arah demokrasi dan konstitusi. Dengan dilepasnya jabatan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan tidak diperkenankannya Anwar Usman terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan, berarti hanya menyisakan delapan Hakim Konstitusi yang terlibat, jika melakukan sidang kembali terhadap Putusan No. 90 dan mengembalikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu ke substansi semula.
Kedepannya, jika terdapat masyarakat atau kelompok tertentu yang memiliki tujuan untuk mengubah bunyi atau substansi dari Pasal 169 huruf q atau pasal sejenisnya, Mahkamah Konstitusi harus mampu melakukan sebuah tindakan yang tegas untuk menolak menguji Pasal tersebut dan mengembalikannya kepada lembaga yang melakukan pembentukan undang-undang, yakni lembaga Legislatif. Asas Equality Before the Law yang berarti semua manusia sama di hadapan hukum, tidak ada pengkhususan terhadap pihak-pihak tertentu, asas ini harus dipegang teguh oleh setiap pemangku jabatan, khususnya dalam hal ini adalah Hakim Konstitusi. Dengan diangkatnya Suhartoyo menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi menggantikan Anwar Usman, Suhartoyo memikul beban yang sangat besar untuk mengembalikan Mahkamah Konstitusi ke singgasananya sebagai lembaga dengan penuh kehormatan. Walaupun sudah penuh dengan retakan, setidaknya Mahkamah Konstitusi mampu untuk merekat kembali dan menjalankan fungsinya sebagai the guardian of constitution dan the guardian of democracy.
LATEST NEWS
Sekwan : Rotasi dan Mutasi Hal Biasa
29 November 2023
Tingkatkan Kesadaran Warga
29 November 2023
Komitmen Bangun Kawasan Tanpa Rokok
29 November 2023
