
Oleh : Mumtaz Azzahra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) telah berjalan empat tahun sejak diresmikan, yaitu pada 26 Agustus 2019 lalu, yang berada di dua Kabupaten yakni Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Pemindahan IKN menjadi topik hangat yang sering diperbincangkan beberapa tahun kebelakang. IKN digadang-gadang akan menjadi kawasan pintar nan ramah lingkungan pertama di Indonesia. Ibu kota baru ini digambarkan sebagai masa depan yang cerah bagi bangsa Indonesia, penuh akan solusi dari banyaknya masalah yang terjadi di negeri ini.
Namun dikala maraknya dongeng-dongeng dan harapan indah yang menyelimuti pembangunan IKN, tidak membuatnya lepas dari banyaknya polemik yang mengekor buntut dari pembangunan IKN selama empat tahun belakangan.
Salah satunya adalah regulasi yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Saat masi berumur sekitar satu tahun setengah, UU IKN sudah mengalami revisi yang dinilai pemerintah harus dilakukan guna mempercepat proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus di Ibukota negara. Namun, salah satu poin yang menjadi sorotan adalah Pasal 16A ayat (1) revisi terhadap UU IKN, yang mengatur pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dalam satu siklus pertama dan dapat diberikan satu siklus kemudian.
Pasal 16A ayat (1) berbunyi “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.”
HGU 190 tahun tersebut terbagi dalam dua siklus. Pertama, jangka waktu paling lama 95 tahun. Setelah siklus pertama selesai dan investor mau bertambah lagi, hak itu bisa diperpanjang untuk siklus kedua dengan masa yang sama. Kemudian untuk perpanjangan dan pembaharuan HGU dapat diberikan sekaligus setelah lima tahun HGU digunakan dan dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
Menurut pemerintah kebijakan ini dibuat untuk menarik minat para investor dan pengusaha agar menanamkan modal di IKN. Dalam kenyataannya, pemberian HGU 190 tahun memang mampu mendatangkan keuntungan bagi pemerinta, tapi juga sekaligus mendatangkan segudang masalah baru.
Terlebih bahkan sebelum dilaksanakan saja, UU ini telah mendapat banyak kritikan dari masyarakat. Pemerintah dianggap mengobral tanah negara demi kepentingan para investor. Tanah yang telah didapatkan secara susah payah melalui proses kemerdekaan, malah digadaikan demi kepentingan segelintir orang.
Berdasarkan hal tersebut, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyebut kebijakan ini sebagai kebijakan panik yang dibuat oleh pemerintah, yang malah menunjukan kemungkinan bahwa tidak ada investor yang tertarik untuk berinvestasi di IKN.
Sebagaimana kebijakan tersebut dibuat secara "panik", maka kebijakan tersebut tidak akan sempurna. Pemberian HGU 190 tahun ini tidak dilengkapi dengan aturan pencabutan hak konsesi yang memadai jika terjadi pelanggaran ketentuan. Pada akhirnya, ketidakjelasan regulasi dan panjangnya masa konsesi ini akan menciptakan konflik agraria baru dan akan merugikan masyarakat lokal.
Dengan masa HGU yang setara dengan tiga generasi tersebut juga akan berdampak pada hilangnya kontrol pemerintah terhadap lahannya sendiri. Investor memiliki peluang untuk mengeksploitasi kawasan IKN guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sepanjang-panjangnya. Pemerintah menjadi kehilangan kesempatan untuk memonetisasi lahan milik negara. Selain itu, pemerintah juga kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari perpanjangan konsesi HGU akibat panjangnya jangka waktu HGU. Dampak paling nyata yang akan langsung dirasakan masyarakat lokal adalah hilangnya kesempatakan bagi masyarakat setempat untuk turut berkontribusi dalam pemanfaatan lahan di wilayah IKN.
Pada akhirnya pembangunan IKN nampaknya bukan ditujukan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat, melainkan kepentingan elite dan pemegang kuasa. Pemerintah harus mengkaji ulang serta mengevaluasi regulasi yang berkaitan dengan HGU dalam wilayah IKN, agar nantinya tidak menimbulkan kerugian bagi bangsa sendiri, terutama masyarakat setempat. (*)
LATEST NEWS
Sekwan : Rotasi dan Mutasi Hal Biasa
29 November 2023
Tingkatkan Kesadaran Warga
29 November 2023
Komitmen Bangun Kawasan Tanpa Rokok
29 November 2023
